Jangan Ada Cinta Antara Kita
Jangan ada cinta antara kita.
Katamu begitu.
Dengan lembut dan tatapan terluka,
kau mengatakannya.
Lalu pergi, hilang.
Masih teringat jelas pertama bertemu.
Dengan rambut panjangmu yang terikat satu.
Senyummu yang melengkung bagai bulan sabit.
Lalu tanganmu mengarah ke depanku,
kita berkenalan.
Setelah dua setengah tahun mengenal,
aku mulai yakin.
Bertekad melawan takdir,
mungkin saja kau memang bisa aku perjuangkan.
Siapa tahu, takdir mengalah.
Pada akhirnya memihak kita.
Kau setuju, ketika aku meminta,
pada waktu itu.
Kau juga berjanji, untuk ikut berjuang.
Kita bisa, selagi bersama.
Itu katamu, janjimu, padaku
Setelah meniup lilin ulang tahunmu,
duapuluhtiga banyaknya.
Aku masih ingat bagaimana aku memelukmu,
seakan kau akan hilang dariku.
Tenang, katamu.
Katamu kau akan setia pada janjimu.
Dua bulan kemudian, aku meniup lilinku sendirian.
Dengan diiringi lantunan doa dari ibu dan kakakku,
aku merakayan hari lahirku tanpamu.
Seminggu kemudian,
kau bilang maaf, hubungan kita tak bisa dilanjutkan.
Dan kembali menghilang setelahnya.
Tiga bulan yang panjang bagiku,
kau tak pernah menghubungiku.
Menghindar seolah aku punya penyakit menular.
Bukan aku tak berusaha.
Kau yang selalu pergi dariku.
Awal tahun duaribusembilanbelas,
kau menghubungiku.
Menanyakan kabarku,
sakit, ku jawab seperti itu.
Maaf, katamu.
Lalu kau ajak ku bertemu Minggu sore.
Pukul empat kurang limabelas menit,
aku sudah tiba di kafe itu.
Tempat kita pertama kali bertemu.
Jam empat pas kau muncul.
Masih sama, dan tidak berubah.
Rambut panjangmu kini kau gerai.
Senyummu masih melengkung bagai bulan sabit.
Tapi tatapanmu berubah ketika kau sampai di depanku.
Ingin rasanya aku memelukmu dan bertanya ada apa.
Kau duduk di depanku.
Berulang kali meminta maaf.
Mencoba menjelaskan segala alasan,
atas kepergianmu selama ini.
Menjelaskan satu persatu,
katamu bagai kepingan kaca yang semakin menyayat hatiku.
Lagi-lagi meminta maaf.
Tapi kali ini tanganmu merogoh tas yang kau tenteng tadi.
Kau mengeluarkan sebuah undangan.
Berinisial namamu dan pria itu.
Pria yang selalu kau puja.
Pria yang selalu kau ceritakan dari awal kita bertemu.
Pria yang selalu hebat dan tak bercela di matamu.
Pria yang membuatmu meninggalkan aku dalam kesendirian.
Kau kembali meminta maaf.
Katamu dia datang sebulan setelah ulang tahunmu.
Mengajakmu menikah, membangun bahtera rumah tangga.
Meninggalkan aku sendirian.
Katamu sebulan lebih kau memikirkannya.
Seminggu setelah ulang tahunku,
seharusnya saat itu kau katakan padaku.
Tapi hatimu sakit,
takut makin mengecewakanku.
Nyatanya, memang.
Dua bulan setelah pertemuan kita sore itu.
Aku menghadiri pesta pernikahanmu.
Dengan sakral dan suci kau melangkah,
menggandeng pria itu.
Tersenyum bahagia,
sekalipun aku tau kau begitu tak percaya diri.
Teringat katamu sore itu.
Seharusnya jangan ada cinta diantara kita,
katamu sambil menyeka air matamu yang turun.
Seharusnya seperti itu,
agar kita tidak saling menyakiti.
Jangan ada cinta diantara kita.
Jakarta, 12 Juni 2018.