Sila baca

Seorang Anak Perempuan yang Sangat Mencintai Ibunya

Senin, 19 November 2018

Fase Mencintai

Akan ada fase dimana kamu menyerah untuk menggapainya.
Ia terasa tidak mungkin untuk kau perjuangkan. Akan ada masanya.

Setelahnya kau akan melanjutkan kehidupan mu, sama seperti sebelumnya.
Hanya satu hal yang selalu kau bohongi, hati mu, kau kembali hidup dengan hati yang kosong.
Kau sulit membuka hati, kau takut terluka untuk membukanya.
Hingga satu persatu yang datang pergi.
Kembali, kau akan makin terasa kosong.

Tanpa sadar, kau kembali memasukkan dia kembali ke dalam hati mu.
Tanpa sadar, ia kembali mengambil hati mu perlahan.
Bahkan, tak ada perlakuan berarti yang coba ia lakukan.

Hanya sekadar menyentuh lenganmu saat kau sedang berbicara dengannya.
Hanya sekadar menyapamu di malam saat kalian bertemu.
Hanya sekadar memberi tahu bahwa ia masih berada di sekitarmu.
Hanya sekadar itu. Tidak pernah lebih.

Lalu, hatimu yang hampir terisi penuh akan kembali terluka.
Isinya akan meluap kembali seperti air matamu saat itu.
Pada akhirnya, susah payah kau bangkit melawan segala keegoisan hatimu.

Sudah tau tidak bisa digapai, kau masih saja berjuang, bodoh, teriak hati kecil mu.

Lalu, pada akhirnya, kau kembali bertekat untuk melupakannya.
Kau mulai menata hidup mu, mencari lelaki baru yang kau pikir dapat menggantikan posisinya.
Tapi, nyatanya, laki-laki itu membuatmu tersadar, rasa mu terhadap dia tak semain-main percintaan anak remaja.

Lalu kau kembali jatuh dan mencintai dia lagi, sendiri.


Jakarta, 19 November 2018

Jumat, 29 Juni 2018

Diam


Aku mencintai dalam diam.

Karena aku tahu, aku tak pantas.

Aku mencintai dalam diam.

Karena aku sadar diri, itu tidak mungkin.

Aku mencintai dalam diam.

Biar saja aku yang tahu.

Karena, aku, hanya mencintainya dalam diam.


Jakarta, 30 Juni 2018

Rindu

Cerita ini masih tentang rindu.
Tentang seseorang yang merindukan seseorang.

Rindu.
Rindu.
Rindu.
Rindu.

Empat kali perempuan itu mengatakan rindu.
Katanya ia rindu,
pada laki-lakinya.
Katanya ia rindu,
tapi perempuan tahu.
Perempuan itu hanya merindu sendirian.

Dengan matanya yang sipit,
perempuan itu tersenyum.
Dengan wajahnya yang bulat,
ia menatap ke langit biru.
Dengan hati yang sakit,
perempuan itu bertahan.
Dengan ikhlas ia berkata,
memang hanya aku yang merindu.

Jakarta, 26 Juni 2017

Selasa, 12 Juni 2018

Jangan Ada Cinta

Jangan Ada Cinta Antara Kita

Jangan ada cinta antara kita.
Katamu begitu.
Dengan lembut dan tatapan terluka,
kau mengatakannya.
Lalu pergi, hilang.

Masih teringat jelas pertama bertemu.
Dengan rambut panjangmu yang terikat satu.
Senyummu yang melengkung bagai bulan sabit.
Lalu tanganmu mengarah ke depanku,
kita berkenalan.

Setelah dua setengah tahun mengenal,
aku mulai yakin.
Bertekad melawan takdir,
mungkin saja kau memang bisa aku perjuangkan.
Siapa tahu, takdir mengalah.
Pada akhirnya memihak kita.

Kau setuju, ketika aku meminta,
pada waktu itu.
Kau juga berjanji, untuk ikut berjuang.
Kita bisa, selagi bersama.
Itu katamu, janjimu, padaku

Setelah meniup lilin ulang tahunmu,
duapuluhtiga banyaknya.
Aku masih ingat bagaimana aku memelukmu,
seakan kau akan hilang dariku.
Tenang, katamu.
Katamu kau akan setia pada janjimu.

Dua bulan kemudian, aku meniup lilinku sendirian.
Dengan diiringi lantunan doa dari ibu dan kakakku,
aku merakayan hari lahirku tanpamu.
Seminggu kemudian,
kau bilang maaf, hubungan kita tak bisa dilanjutkan.
Dan kembali menghilang setelahnya.

Tiga bulan yang panjang bagiku,
kau tak pernah menghubungiku.
Menghindar seolah aku punya penyakit menular.
Bukan aku tak berusaha.
Kau yang selalu pergi dariku.

Awal tahun duaribusembilanbelas,
kau menghubungiku.
Menanyakan kabarku,
sakit, ku jawab seperti itu.
Maaf, katamu.
Lalu kau ajak ku bertemu Minggu sore.

Pukul empat kurang limabelas menit,
aku sudah tiba di kafe itu.
Tempat kita pertama kali bertemu.
Jam empat pas kau muncul.
Masih sama, dan tidak berubah.

Rambut panjangmu kini kau gerai.
Senyummu masih melengkung bagai bulan sabit.
Tapi tatapanmu berubah ketika kau sampai di depanku.
Ingin rasanya aku memelukmu dan bertanya ada apa.

Kau duduk di depanku.
Berulang kali meminta maaf.
Mencoba menjelaskan segala alasan,
atas kepergianmu selama ini.
Menjelaskan satu persatu,
katamu bagai kepingan kaca yang semakin menyayat hatiku.

Lagi-lagi meminta maaf.
Tapi kali ini tanganmu merogoh tas yang kau tenteng tadi.
Kau mengeluarkan sebuah undangan.
Berinisial namamu dan pria itu.

Pria yang selalu kau puja.
Pria yang selalu kau ceritakan dari awal kita bertemu.
Pria yang selalu hebat dan tak bercela di matamu.
Pria yang membuatmu meninggalkan aku dalam kesendirian.

Kau kembali meminta maaf.
Katamu dia datang sebulan setelah ulang tahunmu.
Mengajakmu menikah, membangun bahtera rumah tangga.
Meninggalkan aku sendirian.

Katamu sebulan lebih kau memikirkannya.
Seminggu setelah ulang tahunku,
seharusnya saat itu kau katakan padaku.
Tapi hatimu sakit,
takut makin mengecewakanku.
Nyatanya, memang.

Dua bulan setelah pertemuan kita sore itu.
Aku menghadiri pesta pernikahanmu.
Dengan sakral dan suci kau melangkah,
menggandeng pria itu.
Tersenyum bahagia,
sekalipun aku tau kau begitu tak percaya diri.

Teringat katamu sore itu.
Seharusnya jangan ada cinta diantara kita,
katamu sambil menyeka air matamu yang turun.
Seharusnya seperti itu,
agar kita tidak saling menyakiti.
Jangan ada cinta diantara kita.


Jakarta, 12 Juni 2018.

Rabu, 02 Mei 2018

Perihal Tuan yang Dirindu Puan

Puan duduk menunggu tuan
Tersenyum sebisanya
Getir
Ada hati sakit terasa

Puan yang katanya merindu tuan
Cinta butuh pengorbanan
Serupa
Rindu yang memang berat

Perihal Puan yang Rindu Tuan

Puan menatap langit
Melihat bintang bercahaya
Indah
Tapi tak seindah Tuan

Puan duduk diantara batu
Menunnggu di depan rumah
Lama
Tuan tak kunjung datang