Sila baca

Seorang Anak Perempuan yang Sangat Mencintai Ibunya

Sabtu, 26 Agustus 2017

Berubah

Memang apa yang membuat orang berubah begitu cepat?
Kemarin kita saling mengenal, tapi sekarang seakan tak pernah bertemu.

Jakarta, 22 Agustus 2017.

Bertanya

Dulu kita hanya saling memandang tak berani menyapa
Dulu kita hanya mencuri pandang karena tak mengenal

Ketika kau jabat tanganku dan ucapkan namamu
Aku tak bisa berhenti tersenyum karena ucapanmu

Lalu kita berpisah karena kesalahan kecil
Kau putuskan untuk meninggalkan aku sendiri dalam luka

Aku banyak bertanya pada diriku sendiri
Apa yang aku perbuat hingga cinta tidak berpihak padaku

Mungkin memang salahku
Dari awal hanya aku yang mencinta

Jakarta, 26 Agustus 2017

Jumat, 18 Agustus 2017

Luka


Hari ini aku terluka
Bukan karena orang yang sama
Aku terluka saat aku tau bahwa aku sudah jatuh hati
Aku terluka tau dia melukaiku

Kemarin aku terluka
Aku terluka karena kesalahanku
Aku terluka karna terlalu mencinta
Aku terluka pada bagian hati yang terdalam

Mungkin besok aku kembali terluka
Aku terluka sama seperti sebelumnya
Aku terluka karena mempercayakan hatiku pada orang yang salah
Aku terluka karna mencintai

Jakarta, 18 Agustus 2017

Cinta yang Terluka

She is my everything. She my world, my happiness, my love, my enemy, my wife, my bestfriend. She is all i need.” Ucap Nathan saat diminta memberikan kata terakhir bagi Diana, istrinya yang paling Nathan sayang.
“Dia sudah tenang sekarang. Dia pergi terlebih dahulu karena dia ingin menyiapkan rumah bagi kami kelak, di Surga sana.” Sambung Nathan yang membuat para tamu tak kuasa menahan tangisnya.
Setelah itu Nathan melemparkan segenggam tanah pertama ke tempat peristirahatan terakhir Diana untuk selamanya. Nathan hanya memandang kosong kebawah, ke arah peti Diana nampak cantik dan kokoh. Semua orang tahu, bahwa Nathan dan Diana memang tak terpisahkan. Tapi kali ini, mereka harus bisa menerima takdir yang memisahkan mereka untuk sementara. Karena nanti, mereka akan bertemu lagi di Surga sana.
Selama dalam perjalanan pulang Nathan hanya diam merenung. Hingga Nathan sudah sampai di rumah lamanya. Rumah yang menjadi saksi bisu perjalanan cinta Nathan dan Diana.
Masih teringat jelas semua di kepala Nathan, semua kenangan indah yang terjadi di setiap sudut rumah ini.
Nathan meridukan Diana. Nathan sangat merindukan Diana.
Di Rumah ini, sekarang Nathan hidup sendiri tanpa Diana di hari tuanya. Menunggu Tuhan, menugaskan malaikat mautnya membawa Nathan pergi untuk menyusul Diana.
”Pa.. jangan terlalu berlarut dalam kesedihan ya,” Kata Nina sambil memeluk Nathan. Nina adalah anak bungsu Nathan dan Diana. Sementara Nathan hanya diam tidak menjawab. Nathan masih sibuk dengan hatinya yang masih belum mengikhlaskan kepergian Diana.
“Pa.. masih ada anak-anak Papa yang lain, cucu Papa juga masih ada kok,” Kini Nina tidak hanya berkata, air mata Nina mulai turun membahasi pundak Nathan.
Seolah sadar dengan apa yang terjadi, Nathan melihat ke arah Nina dan tersenyum.
“Tidak apa-apa, Nak. Papa sudah ikhlas.” Jawab Nathan sambil menyeka air matanya yang mulai turun.
Walaupun Nina tidak puas dengan jawaban Nathan, Nina mengalah memohon ijin untuk pulang kerumahnya. Menyisakan Nathan yang kembali ke dunianya. Kembali ke masa lalunya.
“Aku pulang.” Teriak seorang pria dari arah depan. Nathan yang sedang terdiam spotan menengok ke arah suara.
“Nathan! Kamu sudah pulang?” suara seorang wanita dari arah dapur yang langsung berlari ke arah suara pria itu.
Nathan memutuskan untuk melihat apa yang terjadi. Nathan menyusuri lorong yang mengubungkan Dapur, Kamar, dan Ruang Tamunya. Pemandangan yang di temuinya membuat Nathan tersenyum lebar. Yang dilihatnya Nathan dan Diana yang masih muda berpelukan.
“Nathan, aku merindukanmu.” Kata Diana dengan mulutnya yang membentuk huruf U.
“Sungguh? Aku juga.” jawab Nathan sambil menggendong Diana yang begitu ringan.
“Sungguh. Aku menyukai rumah baru kita ini. Tapi rumah seluas ini terasa kosong tanpa suaramu, Nathan. Dan aku menyukai cerewetnya Nathan-jelek-itu.” Ejek Diana sambil menjulurkan lidahnya.
“Benarkah jika Nathan itu jelek? Berarti Nathan begitu beruntung mendapatkan Diana, bukan?” Nathan membalas perkataan Diana hingga membuat pipi Diana terlihat seperti udang rebus. Sedangkan Diana yang merasa malu hanya memukul Nathan pelan.
“Aku mencintaimu, Diana.” Kata Nathan sungguh-sungguh.
“Aku juga mencintaimu, Nathan.” Balas Diana.
Sedangkan Nathan yang hanya melihat dari tadi tidak bisa berhenti tersenyum saat kenangan itu terulang kembali. Nathan sangat mencintai Diana.
Lalu, Nathan melangkahkan kakinya menuju kamarnya. Menjatuhkan tubuh ringkihnya di sofa yang sudah menemaninya selama puluhan tahun. Nathan melihat ke sekelilingnya, tempat ini adalah salah satu tempat semua kenangan indah yang terjadi. Kenangan indah Nathan dan Diana terjadi.
“Nathan!!!!!!!!” teriak seseorang dari luar kamar. Nathan terkejut mendengar suara itu. Suara indah yang selalu menemaninya selama bertahun-tahun.
“Nathan!!!! Bangun!!! Aku mau cerita.” Kali ini Diana mengguncang seseorang yang ada di tempat tidur.
“Ngghh?”Jawab Nathan yang ada di tempat tidur itu.
“Demi rahasia yang di sembunyikan tuan Crab. Nathan kamu denger aku kan? Aku marah nih.” Kata Diana mengancam. Nathan langsung terbangun, karena dari dulu sampai sekarang hanya satu yang Nathan takuti. Yaitu, jika Diana marah.
Sedangkan Nathan yang ada di sofa hanya bisa tertawa melihatnya. Begitu memalukan tingkah Nathan. Di hadapan orang yang dicintainya, tidak ada yang bisa di lakukan selain menurut.
Diana mulai menceritakan apa yang terjadi padanya hari ini. Dengan sabar Nathan mendengarkan. Walaupun sekali-kali kepalanya terjatuh karena rasa kantuknya yang teramat. Diana masih terus dengan semangat menceritakan semuanya.
“Nathan, kamu denger aku kan?” Diana mengatakannya dengan penekanan tinggi yang sangat terlihat jelas. Membuat Nathan terperanjat kaget.
“Kan. Pasti kamu gamau dengerin aku. Fix banget, pasti kamu udah ga cinta sama aku.” Kali ini Diana mengatakannya dengan penuh drama yang membuat Nathan menggelengkan kepalanya.
“Diana, dengarkan aku. Kamu harus belajar untuk tidak mementingkan perkataan orang lain. Kamu hidup untuk dirimu dan untuk orang-orang yang kamu sayangi. Buat apa kamu mendengarkan mereka yang hanya bisanya berkomentar tanpa membantumu sama sekali. Kamu harus belajar percaya dengan keputusanmu sendiri. Karena itu yang terbaik. Kamu gak mungkin ambil keputusan kalau menurut kamu itu gak yang terbaik kan? Kamu mengerti maksud aku kan?” ucap Nathan panjang lebar.
“Iyasih.... Aku ngerti kok.” Diana mengangguk tanda dia memahami semua yang diucapkan Nathan.
“Dan satu lagi. Mulai dari kita pertama bertemu, sekarang, nanti, bahkan selamanya... Aku tetap Mencintai kamu, Diana. Kamu tidur ya udah malem, Selamat Malam.” Nathan mencium kening Diana lalu mengambil posisi tidur membelakangi Diana. Nathan malu akan ucapannya sendiri.
“Aku juga... Aku akan selalu mencintaimu, Nathan.” Balas Diana sambil tersenyum. Tanpa Diana lihat, Nathan sudah tersenyum lebar mendengarnya.
Nathan yang dari tadi melihatnya hanya bisa tersenyum sambil mengusap air matanya yang jatuh.
“Diana... Aku merindukanmu.” Ucap Nathan di sela tangisnya.
Nathan mengambil bingkai foto yang ada di meja samping sofa yang dia duduki sekarang. Nathan tersenyum melihat foto wanita yang sedang tertawa lepas di dalam bingkai foto itu. Diana adalah model di setiap karya yang Nathan buat. Bagi Nathan, Diana adalah wanita yang paling cantik yang pernah di temui seumur hidupnya.
“Diana... Aku benar-benar merindukanmu.” Air mata mulai membasahi wajah keriput Nathan, menampakkan luka yang sangat dalam jauh dari lubuk hatinya.
Malam berlalu dengan cepat. Seolah matahari sudah tak sabar menampakan cahayanya yang indah. Sedangkan di sudut kamar, Nathan mulai membuka matanya perlahan.
“Aku pikir kita sudah bisa bertemu, Di. Ternyata belum.” Terlihat jelas kekecewaan di setiap kata yang Nathan keluarkan. Nathan beharap Tuhan sudah memanggilnya karena Diana menangis sendirian di surga sana.
Tok...tok....
Nathan menoleh ke arah suara. Dengan perlahan dia beranjak dari sofa tempatnya tertidur semalam menuju arah pintu depan.
“Maaf, apakah bapak adalah Pak Nathan?” pertanyaan itu langsung menyambut Nathan ketika dia berhasil membuka pintu depannya.
“Ya. Siapa anda?” jawab Nathan, karena sesungguhnya Nathan tidak tau mereka siapa.
“Perkenalkan saya Miller, saya di tugaskan Bu Diana untuk mengantar kotak ini. Sehari setelah kepergian Bu Diana untuk selamanya. Maaf atas keterlambatan saya. Saya permisi.” Ucap kurir itu dengan sopan dan sedikit membungkuk untuk menyamakan tingginya dengan Nathan.
“Apa isinya?” tanya Nathan penasaran.
“Maaf, Pak. Sejak Bu Diana menitipkan kotak ini pada saya sampai hari ini saya tidak mengetahui apa isinya dan saya juga tidak berhak untuk membukanya.”
“....”
Ada jeda antara Nathan dan Miller. Nathan sibuk berpikir dengan pikirannya, sedangkan Miller seperti ingin mengatakan sesuatu yang mengganjal hatinya.
“Pak... Saya turut berduka cita atas kepergian Bu Diana. Bu Diana adalah malaikat berupa manusia yang pernah saya temui, Pak. Saya mungkin tidak seperti Bapak yang sangat merasakan kehilangan jauh lebih dari saya. Tapi, satu yang harus Bapak tau. Tuhan terlalu sayang dengan malaikatnya, Pak. Tuhan tidak mau melihat malaikatnya terus merintih kesakitan saat sendirian. Tuhan tidak mau melihat Bu Diana menanggung semua penyakit itu lebih lama.”
Nathan semakin sibuk dengan pikirannya. Sehingga dia lebih memilih diam daripada menjawab atau menyanggah Miller.
“Oh ya, Pak. Banyak kenangan tentang Bu Diana di panti asuhan “Kasih Bunda”, jika Bapak berkenan silahkan datang, Pak. Saya pamit pulang ya, Pak.” Lanjut Miller sambil mencium puncak tangan Nathan, sama seperti yang selalu Miller lakukan pada Diana, malaikat berupa manusia yang menyelamatkannya dari bencana tanah longsor 10 tahun lalu.
Nathan menutup pintu depan rumahnya perlahan. Kaki tuanya dia paksa untuk melangkah kearah ruang keluarga. Dengan sisa tenaganya Nathan berusaha untuk duduk dan membuka kotak yang di berikan Miller tadi.
Nathan tersenyum ketika dia melihat apa isi dari kotak tersebut. Semua itu adalah barang-barang yang Nathan berikan pada Diana saat mereka masih sama-sama menjadi anak dari salah satu Panti Asuhan di Djogyakarta.
Terlalu banyak kenangan yang kau ciptakan Diana, baru 5 jam setelah tanah itu menguburmu, aku bahkan tak sanggup kehilanganmu. Aku harus bahagiama, Diana? Tanya Nathan dalam hatinya.
"Jika kehilangan sesakit ini, aku tidak akan pernah melepasmu satu detikpun, Diana. Aku hanya terlalu mencintaimu. Aku tidak bisa seperti ini terus, Diana." Ucap Nathan.
"Kalau begitu, ikutlah dengan ku Nathan." suara wanita itu terdengar lagi. Dan semakin membuat hati Nathan sakit.
"Apa yang lebih menyakitkan setelah 40 tahun kita hidup bersama dan kau sama sekali tidak mempercayaiku?" kata-kata yang wanita itu lontarkan dari luar pintu kamar nyaris membuat jantung Nathan berhenti.
"Aku kira kau masih sama egoisnya dengan seorang anak perempuan yang ku temui 40 tahun yang lalu, Diana." Nathan tau itu adalah dia yang memaki Diana sebelum wanita itu pergi meninggalkannya.
"Apa yang kau takutkan Nathan? Aku sudah menghabiskan separuh abad bersamamu. Aku bahkan sudah menghabiskan hampir seluruh hidupku dengan mu, Nathan. Dan kau masih tidak mempercayaiku? Aku bisa mati, Nathan." Nathan tau betul, jika di luar ruangan itu Diana sedang menatapnya frustasi.
"Kau hanya diam tak menjawabku, Nathan? Aku sangat kecewa padamu. Aku akan pergi meninggalkanmu. Selamanya." Nathan reflek berlari  keluar mencoba mengejar Diana yang pergi. Tapi percuman, itu semua hanya imajinasi Nathan.
Nathan berlari menuju tempat peristirahatan terakhir Diana. Rumah yang seharusnya Diana belum tempati kalau saja Nathan tidak bersikap kekanakan.
"Aku minta maaf, Diana." Nathan tak sanggup lagi berdiri dengan kedua kakinya, ia sudah berlutut di depan makam Diana yang bahkan belum kering.
"Aku yang egois, aku kekanakan, aku bodoh karena mudah terbawa emosi."
"Aku..." kata-kata Nathan terpotong karena rasa sakit yang muncul dari jantungnya.
"Aku tidak kuat lagi, Diana"
"Aku tidak bisa hidup tanpamu." Nathan memejamkan matanya lalu berbaring menghadap papan kayu salib yang bertuliskan nama istrinya itu.
"Aku akan menyusulmu, tunggu aku." Nathan tersenyum setelah mengucapkan kata terakhirnya.
------
Ada dalam wattpad : https://www.wattpad.com/457583571-song-fiction-cinta-yang-terluka