Di siang itu, ketika seorang anak perempuan sedang duduk di samping Ibunya menikmati video-video lucu yang ada di gawainya. Si Ibu bertanya dengan nada cemburu, "Kenapa hanya buat cerita tentang Bapak? Memang Ibu tidak berkesan dihidupmu?", tanya Ibu pada anak perempuan di sampingnya.
Anak perempuan itu tertawa mendengar pertanyaan Ibunya. Anak perempuan itu memang suka menulis sebuah cerita dalam laman blog pribadinya. Dia pasti selalu memberikan hasil tulisannya kepada Ibunya, supaya dibaca katanya. Ibunya yang mengajarinya menulis. Menjadi seorang penulis adalah cita-cita Ibunya yang tidak terwujud lalu diwariskan pada anak perempuannya itu.
Tidak perlu diragukan, sudah jelas peran Ibu dihidupnya sangat berarti. "Kenapa, Bu? Mau dibuatkan sebuah cerita yang juga bercerita tentang anak perempuan dengan Ibunya?", jawab anak perempuan itu setengah bercanda. Ibunya hanya diam tidak menjawab. Kesal. Itu perasaan yang dirasakan Ibunya.
Bagaimana bisa, anak perempuan pertama yang sangat Ia sayangi tidak menuliskan kisah tentang dia? Tapi, bagi anak perempuan itu yang terjadi tidak sama seperti apa yang dipikirkan Ibunya.
Anak perempuan yang tidak pernah kekurangan sosok Ibu dalam hidupnya. Karena semua hal yang terjadi dalam hidupnya pasti diceritakan pada Ibunya. Ibu yang selalu menjadi rumahnya ketika ia pulang.
"Pulang ke Rumah"
Kalimat yang paling cocok menggambarkan kisah anak perempuan itu dengan Ibunya. Wanita yang paling disayangi oleh anak perempuan itu Ibunya. Tanpa pernah kata sempat terucap untuk menceritakan yang sebenarnya. Kemudian anak perempuan itu ditinggalkan tanpa aba, hingga anak perempuan tak tau harus bagaimana.
"Lalu, sekarang, aku harus bagaimana, Bu?", tanya anak perempuan itu pada langit di atas kepalanya. Tak pernah terbayangkan dalam hidupnya anak perempuan itu bahwa sekarang anak perempuan itu harus berjalan sendirian mengarungi derasnya arus kehidupan. Selama ini selalu ada Ibunya yang mendorongnya, menjaganya dari belakang, memastikan tak ada seorang pun yang mematahkan semangatnya.
Anak perempuan itu kehilangan rumahnya.
Bagi anak perempuan itu, Ibunya adalah rumahnya.
Anak perempuan itu tidak tau bagaimana caranya pulang sekarang. Bingung, takut, hilang arah, hampir gila. Kata-kata yang bisa menggambarkan perasaannya saat itu. Ibu yang selalu menjadi tempatnya pulang sudah berpulang.
Anak perempuan itu tidak berhenti menyalahkan dirinya. Anak perempuan itu kira ini salahnya. Seharusnya, seharusnya, seharusnya. Hanya kalimat yang menggunakan kata itu di dalam kepalanya. Menyalahkan takdir dan mempertanyakan banyak hal pada sang pencipta. "Apa maksudnya semua ini, Tuhan?", anak perempuan itu kembali bertanya sambil menengadah ke atas langit.
Mencoba bertahan menjadi kuat supaya banyak orang di sekitarnya tetap kuat. Mencoba tersenyum dan tetap bijak seperti tak masalah atas apa yang terjadi, padahal anak perempuan itu sudah hampir gila. Selalu menguatkan banyak orang, sampai dia sendiri lupa, bahwa dia juga harus kuat.
Anak perempuan itu perlahan mencoba berjalan walau tertatih. Mencoba tetap waras atas apa yang terjadi. Sedikit demi sedikit anak perempuan itu berjalan walau anak perempuan itu sebenarnya tak tau ke arah mana dia melangkah.
Menjalani hari dengan penuh rasa kosong. Perlahan hilang, menjauh. Semua pertanyaannya belum terjawab, yang ada hanya rasa bersalah karena anak perempuan itu tak sempat mengubah keadaan. Seharusnya, seharusnya, seharusnya.